Minggu, 18 November 2012

Di antara suara riuh - riuh di kejauhan sana, terlihat aku, berdiri di sana, tak mampu menggerakkan 1 inchi pun kakiku. mematung. Sementara awan hujan di sisi langitku. Bertengger sigap tuk menginvasi dengan butiran -butiran hujan. Sungguh tak ada suka cita di sana. Aku terlalu terpaku dalam kesendirian itu, aku tak dapat berbuat, tak dapat berteriak, tak dapat menghela nafas panjang tuk sedikit merilekskan semua derita ini.
Sungguh sejatinya aku menderita, namun tak merasakan apa - apa. Aku tersakiti oleh rasa hampa ini. Mungkin biarlah badai menyapu seluruh tanah ini. Baiknya aku luruh sekalian, terhempas, sampai akhirnya menabrak karang, akan sangat indah kalau aku bisa merasakan sakit, kemudian tersenyum. Merasakan jiwa dan perasaan bahwa ini sungguh benar ada.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di sisi lain aku tertawa, menghembus nafas sepanjang paru - paruku mampu menahannya. Di sekitarku terdapat siluet - siluet kebahagiaan yang melayang - layang mengelilingiku. Aku melihat banyak cinta, keluarga, persahabatan, bahkan aku rela mati agar semua itu tetap ada. Kujaga dengan seluruh hidupku, aku bukan apa - apa tanpa mereka.
Awan hujan turut datang. Dia mampir dengan penuh kehangatan. Kemudian membasahinya dengan hujan. Hujannya manis, kurasa. Bulir - bulir air yang jatuh itu bagiku semacam nominal jumlah rasa terima kasihku atas semua ini. Tak terhitung. Memang benar, tak terhitung. Mungkin ini adalah sebuah penjelasan mengenai arti kebahagiaan itu. Mungkin aku akan kaku, akan mati, tapi takdir tak dapat menjelaskan bahwa kematian adalah akhir dari segala kebahagiaan.

----------------------------------------Fin--------------------------------------------------------------------------

(dibuat di pagi yang cerah, saat itu belum sarapan)

Jumat, 12 Oktober 2012

Seperti biasa, malam ini saya mengawali buka internet dengan sebuah 'ritual'. Apa ritual itu? Yakni adalah klik Tool - Options - hilangkan tanda checklist pada Load image. Apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan adalah untuk berhemat. Apa? B-E-R-H-E-M-A-T.
Nah, kenapa jam2 segini malah bicarain hal yang mendekati sifat kikir dan pelit yaitu berhemat / NGIRIT??
Kita tau kalo koneksi internet di Indonesia tercinta ini agak kalah dibandingkan dengan negara laen. (bandingkan dengan negara adidaya seperti Amerika, bukan Zimbabwe). Padahal, konsumen internet di Indonesia kian hari  kian bertambah. membludag. Pada situasi tertentu air juga ikut membludag. contoh: banjir.
Dan seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa taraf hidup seorang karyawan, sangat bergantung pada tanggal terjauh dan terdekat dengan gajian. Berikut saya perjelas lagi.
1. Tanggal muda
Kipas-kipas, porsi makan: nasi, sayur, telur, ayam, susu. 4 sehat 5 sempurna.
2. Tengah bulan
mulai keteteran, porsi makan: nasi, sayur, udah. +perbanyak kuah.
3. Tanggal tua
porsi makan: promagh
Nah maka dari itu kita sangat dihimbau untuk membiasakan hidup hemat para saudara-saudara. Sebagai anak muda junjungan bangsa, apakah tidak malu kita cuma makan enak pas awal bulan saja? Nah maka dari itu, ayo kita satukan jemari, bersama-sama membangun negeri, agar kelak terlaksana sebuah harapan mulia yaitu kesejahteraan buruh & karyawan.
Dahsyat!!

Minggu, 07 Oktober 2012

Hal Yang Kamu Lakukan Jika Lihat Sang Mantan Mesra2an di Depanmu

Jika pada suatu hari kamu sedang jalan2 sendirian di taman. Terus tiba-tiba lewatlah mantan kamu boncengan sama pacar barunya pake Ninja. Wuuzzzz...
Apa respon yang akan kamu lakukan?

Jumat, 05 Oktober 2012

Makalah Proses Lahirnya Alam Semesta



Ini kan critanya gue lembur malem2 buat bikin tugas nih. gue posting ni di sini. Buat sharing2 aja, bolehlah kalo mau dijadiin bahan referensi maupun sekedar bacaan. :)

Selasa, 02 Oktober 2012

Ini dia. Beginilah gue. Selamat datang di blog yang antara lain berfungsi sebagai genep - genep. Awalnya malingsego.blogspot.com sempat jadi domain blog ini. Itu di tahun 2009. Waktu itu gue masi sekolah di STM. Lagi demen - demennya ngenet gratis di komputer perpus saat itu. Biar koneksi lelet kaya keong, tapi poin terpentingnya adalah GRATIS. IYA, GRATIS. Jaman waktu itu mah (jaman sering makan pro magh karna kelaperan) gratis dan tebengan adalah sebuah rutinitas populer kalangan anak macam gue.

Secara iseng gue bikin sebuah blog pribadi, yang bahkan namanya pun full gak pake mikir. random abiss. Jadi ini adalah postingan ke-3. Postingan pertama gak mutu, posting ke-2 copasan, posting ke-3 cukup lumayan ancur lah. Yang penting ada sepatah 2 patah kata yang bisa dibaca, dan berakhir di closed tab. :p Jadi setelah sekian lama, kenapa memutuskan untuk ngeblog lagi? Bukankah dulu buat blog cuma buat iseng? Kenapa jadi seakan sudah punya gratisan lain buat ngeblog?

 jawabannya... (adalah?)

Sebenernya udah cukup lama gue terobsesi buat nulis. Minimal apa yang pengen gue sampein bisa tersurat dalam sebuah tulisan yang semua orang ingin baca. Lalu saat kelas 1 STM gue dikenalin sama facebook. Ini bukan social media pertama sih bwt gue. Tadinya udah tren ama apa yang bisa kita sebut friendster. Nah berhubung waktu itu gue gak punya (dan gak daftar) akun frienster, Facebook akhirnya yg masuk di hati gue. Ceilee..

Kita sih biasa maen fesbuk pake hape. Kemudian muncul lagi twitter. Sempet asyik juga ama twitter. Konsepnya yang sederhana tapi bisa mengobati sedikit kejenuhan akan fesbuk.Tapi twitter sebatas 140 karakter doank. Dan.. taraaa.. di sinilah gue mulai kepikiran untuk menghidupkan blog gue lagi. :) Dibarengi dengan niat fisabilillah, dan laptop yang bisa idup. Mari kita berekskesi berekspresi dalam kata kata. Let's Bloging!

Minggu, 02 September 2012

Terimakasih Pak Hamid, Kami Bangga Menjadi Murid Bapak

Terimakasih Pak Hamid, Kami Bangga Menjadi Murid Bapak Pak Hamid duduk termangu. Dipandanginya benda-benda yang berjajar di depannya dengan masygul. Bertahun-tahun dimilikinya dengan penuh kebanggaan. Dirawat dengan baik hingga selalu bersih dan mengkilap. Jika ada orang yang bertanya, Pak Hamid akan bercerita dengan penuh kebanggaan. Siapa yang tidak bangga memiliki benda-benda itu? Berbagai plakat penghargaan yang diterimanya selama 35 tahun pengabdiannya sebagai guru di daerah terpencil. Daerah terisolasi yang tidak diminati oleh guru-guru yang lain. Namun Pak Hamid ikhlas menjalaninya, walau dengan gaji yang tersendat dan minimnya fasilitas sekolah. Cinta Pak Hamid pada anak-anak kecil yang bertelanjang kaki dan rela berjalan jauh untuk mencari ilmu, mampu menutup keinginannya untuk pindah ke daerah lain yang lebih nyaman. Kini masa itu sudah lewat. Masa pengabdiannya usai sudah pada usianya yang keenam puluh. Meskipun berat hati, Pak Hamid harus meninggalkan desa itu beserta keluarganya. Mereka tinggal di rumah peninggalan mertuanya di pinggir kota. Jauh dari anak didik yang dicintainya, jauh dari jalan tanah, sejuknya udara dan beningnya air yang selama ini menjadi nafas hidupnya. “Hei, jualan jangan sambil melamun!” teriak pedagang kaos kaki di sebelahnya. Pak Hamid tergagap. “Tawarkan jualanmu itu pada orang yang lewat. Kalau kamu diam saja, sampek elek ra bakalan payu!”* kata pedagang akik di sebelahnya. “Jualanmu itu menurutku agak aneh,” ujar pedagang kaos kaki lagi. “Apa ada yang mau beli barang-barang seperti itu ? Mungkin kamu mesti berjualan di tempat barang antik. Bukan di kaki lima seperti ini”. Pak Hamid tak menjawab. Itu pula yang sedang dipikirkannya. Siapa yang tertarik untuk membeli plakat-plakat itu? Bukanlah benda-benda itu tidak ada gunanya bagi orang lain, sekalipun sangat berarti baginya ? “Sebenarnya kenapa sampai kau jual tanda penghargaan itu ?” tanya pedagang akik. “Saya butuh uang.” “Apa istri atau anakmu sedang sakit ?” “Tidak. Anak bungsuku hendak masuk SMU. Saya butuh uang untuk membayar uang pangkalnya.” “Kenapa tidak ngutang dulu. Siapa tahu ada yang bisa membantumu.” “Sudah. Sudah kucoba kesana-kemari, namun tak kuperoleh juga.” “Hei, bukankah kau punya gaji...eh... pensiun maksudku.” “Habis buat nyicil montor untuk ngojek si sulung dan buat makan sehari-hari.” Penjual akik terdiam. Mungkin merasa maklum, sesama orang kecil yang mencoba bertahan hidup di kota dengan berjualan di kaki lima . “Kau yakin jualanmu itu akan laku?”penjual kaos kaki bertanya lagi setelah beberapa saat. Matanya menyiratkan iba. “Insya Allah. Jika Allah menghendaki aku memperoleh rejeki, maka tak ada yang dapat menghalanginya.” Siang yang panas. Terik matahari tidak mengurangi hilir mudik orang-orang yang berjalan di kaki lima itu. Beberapa orang berhenti, melihat-lihat akik dan satu dua orang membelinya. Penjual akik begitu bersemangat merayu pembeli. Rejeki tampaknya lebih berpihak pada penjual kaos kaki. Lebih dari dua puluh pasang kaos kaki terjual. Sedangkan jualan Pak Hamid, tak satupun yang meliriknya. Keringat membasahi tubuh Pak Hamid yang mulai renta dimakan usia. Sekali lagi dipandanginya plakat-plakat itu. Kegetiran membuncah dalam dadanya. Berbagai penghargaan itu ternyata tak menghidupinya. Penghargaan itu hanya sebatas penghargaan sesaat yang kini hanya tinggal sebuah benda tak berharga. Sebuah ironi yang sangat pedih. Tak terbayangkan sebelumnya. Predikatnya sebagai guru teladan bertahun yang lalu, tak sanggup menghantarkan anaknya memasuki sekolah SMU. Sekolah untuk menghantarkan anaknya menggapai cita-cita, yang dulu selalu dipompakan ke anak-anak didiknya. Saat kegetiran dan keputusasaan masih meliputinya, Pak Hamid dikejutkan oleh sebuah suara. “Bapak hendak menjual plakat-plakat ini?” seorang lelaki muda perlente berjongkok sambil mengamati jualan Pak Hamid. Melihat baju yang dikenakannnya dan mobil mewah yang ditumpanginya, ia sepertinya lelaki berduit. Pak Hamid tiba-tiba berharap. “Ya...ya..saya memang menjual plakat-plakat ini,” jawab Pak Hamid gugup. “Berapa bapak jual setiap satuannya?” Pak Hamid berfikir,”Berapa ya? Bodoh benar aku ini. Dari tadi belum terpikirkan olehku harganya.” “Berapa, Pak?” “Eee...tiga ratus ribu.” “Jadi semuanya satu juta lima ratus. Boleh saya beli semuanya ?” Hah! Dibeli semua, tanpa ditawar lagi! Kenapa tidak kutawarkan dengan harga yang lebih tinggi? Pikir Pak Hamid sedikit menyesal. Tapi ia segera menepis sesalnya. Sudahlah, sudah untung bisa laku. “Apa bapak punya yang lain. Tanda penghargaan yang lain misalnya ...” Tanda penghargaan yang lain? Pak Hamid buru-buru mengeluarkan beberapa piagam dari tasnya yang lusuh. Piagam sebagai peserta penataran P4 terbaik, piagam guru matematika terbaik se kabupaten, bahkan piagam sebagai peserta Jambore dan lain-lain piagam yang sebenarnya tidak begitu berarti. Semuanya ada sepuluh buah. “Bapak kasih harga berapa satu buahnya ?” “Dua ratus ribu.” Hanya itu yang terlintas di kepalanya. “Baik. Jadi semuanya seharga tiga juta lima ratus ribu. Bapak tunggu sebentar, saya akan ambil uang di bank sana itu.” kata lelaki perlente itu sambil menunjuk sebuah bank yang berdiri megah tak jauh dari situ. “Ya...ya..saya tunggu.” kata Pak Hamid masih tak percaya. Menit-menit yang berlalu sungguh menggelisahkan. Benarkah lelaki muda itu hendak membeli plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaannya? Atau dia hanya penipu yang menggoda saja? Pak Hamid pasrah. Tapi nyatanya, lelaki itu kembali juga akhirnya dengan sebuah amplop coklat di tangannya. Pak Hamid menghitung uang dalam amplop, lalu buru-buru membungkus plakat-plakat dan berbagai tanda penghargaan miliknya dengan kantong plastik, seakan-akan takut lelaki muda itu berubah pikiran. Dipandangnya lelaki muda itu pergi dengan gembira bercampur sedih. Ada yang hilang dari dirinya. Kebanggaan atau mungkin juga harga dirinya. Pak Hamid kini melipat alas dagangannya dan segera beranjak meninggalkan tempat itu, meninggalkan pedagang akik dan kaos kaki yang terbengong-bengong. Entah apa yang mereka pikirkan. Namun, ia tak sempat berfikir soal mereka, pikirannya sendiri pun masih kurang dapat mempercayai apa yang baru saja terjadi. “Lebih baik pulang jalan kaki saja. Mungkin sepanjang jalan aku bisa menata perasaanku. Sebaik mungkin. Aku tidak ingin istriku melihatku merasa kehilangan plakat-plakat itu. Aku tidak ingin ia melihatku menyesal telah menjualnya. Karena aku ingin anakku sekolah, aku ingin dia sekolah!” Pak Hamid bertutur panjang dalam hati. Ia melangkah gontai menuju rumah. Separuh hatinya begitu gembira, akhirnya si bungsu dapat sekolah. Tiga setengah juta cukup untuk membiayai uang pangkal dan beberapa bulan SPP. Namun, separuh bagian hatinya yang lain menangis, kehilangan plakat-plakat itu, yang sekian tahun lamanya selalu menjadi kebanggaannya. Jarak tiga kilometer dan waktu yang terbuang tak dipedulikannya. Sesampainya di rumah, istrinya menyambutnya dengan wajah khawatir. “Ada apa, Pak? Apa yang terjadi denganmu? Tadi ada lelaki muda yang mencarimu. Dia memberikan bungkusan ini dan sebuah surat. Aku khawatir sampeyan ada masalah.” Pak Hamid tertegun. Dilihatnya kantong plastik hitam di tangan istrinya. Sepertinya ia mengenali kantong itu. Dibukanya kantong itu dengan terburu-buru. Dan...plakat- plakat itu, tanda penghargaan itu ada di dalamnya! Semuanya! Tak ada yang berkurang satu bijipun! Apa artinya ini? Apakah lelaki itu berubah pikiran? Mungkin ia bermaksud mengembalikan semuanya. Atau mungkin harga yang diberikannya terlalu mahal. Batin Pak Hamid bergejolak riuh. Segera dibukanya surat yang diangsurkan istrinya ke tangannya. Sehelai kartu nama terselip di dalam surat pendek itu. Pak Hamid yang saya cintai, Saya kembalikan plakat-plakat ini. Plakat-plakat ini bukan hanya berarti untuk Bapak, tapi juga buat kami semua, murid-murid Bapak. Kami bangga menjadi murid Bapak. Terima kasih atas semua jasa Bapak. Gunarto, lulusan tahun 75. Tak ada kata-kata. Hanya derasnya air mata yang membasahi pipi Pak Hamid. oleh : http://www.eryevolutions.co.cc/2012/08/