Minggu, 18 November 2012

Di antara suara riuh - riuh di kejauhan sana, terlihat aku, berdiri di sana, tak mampu menggerakkan 1 inchi pun kakiku. mematung. Sementara awan hujan di sisi langitku. Bertengger sigap tuk menginvasi dengan butiran -butiran hujan. Sungguh tak ada suka cita di sana. Aku terlalu terpaku dalam kesendirian itu, aku tak dapat berbuat, tak dapat berteriak, tak dapat menghela nafas panjang tuk sedikit merilekskan semua derita ini.
Sungguh sejatinya aku menderita, namun tak merasakan apa - apa. Aku tersakiti oleh rasa hampa ini. Mungkin biarlah badai menyapu seluruh tanah ini. Baiknya aku luruh sekalian, terhempas, sampai akhirnya menabrak karang, akan sangat indah kalau aku bisa merasakan sakit, kemudian tersenyum. Merasakan jiwa dan perasaan bahwa ini sungguh benar ada.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di sisi lain aku tertawa, menghembus nafas sepanjang paru - paruku mampu menahannya. Di sekitarku terdapat siluet - siluet kebahagiaan yang melayang - layang mengelilingiku. Aku melihat banyak cinta, keluarga, persahabatan, bahkan aku rela mati agar semua itu tetap ada. Kujaga dengan seluruh hidupku, aku bukan apa - apa tanpa mereka.
Awan hujan turut datang. Dia mampir dengan penuh kehangatan. Kemudian membasahinya dengan hujan. Hujannya manis, kurasa. Bulir - bulir air yang jatuh itu bagiku semacam nominal jumlah rasa terima kasihku atas semua ini. Tak terhitung. Memang benar, tak terhitung. Mungkin ini adalah sebuah penjelasan mengenai arti kebahagiaan itu. Mungkin aku akan kaku, akan mati, tapi takdir tak dapat menjelaskan bahwa kematian adalah akhir dari segala kebahagiaan.

----------------------------------------Fin--------------------------------------------------------------------------

(dibuat di pagi yang cerah, saat itu belum sarapan)